HARGA BARANG SEBAGAI STANDAR PENGEMBALIAN HUTANG PIUTANG UANG.
(TELA’AH ASPEK AL-‘ADALAH DALAM EKONOMI ISLAM)
Dalam khazanah fiqh, kata pinjam meminjam uang secara kebahasaan berasal dari kata al-qardl yang berarti hutang piutang. Dalam pengertian yang umum, hutang-piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai. Pemahaman masyarakat Sasak tentang hutang piutang dan pinjam meminjam sangat bervariasi. Variasinya ada enam, salah satunya adalah dengan menggunakan standar harga barang. Praktik hutang piutang berstandar harga barang dalam tulisan ini terjadi dengan cara seseorang membutuhkan uang untuk suatu keperluan, lalu meminjam uang sejumlah yang dibutuhkan sesuai kesepakatan (misalnya Rp 1.000.000,-) yang pada saat peminjam meminjam uang sebesar itu akan dapat membeli semen sebanyak 40 sak, lalu pada saat dikembalikan, misalnya tahun depan dikembalikan seharga 40 sak semen, yang sangat mungkin harganya lebih tinggi dari harga pada tahun sebelumnya (misalnya Rp 1.300.000,-). Cara ini sangat rasional dan sangat memenuhi rasa keadilan. Si pemberi pinjaman telah memberikan kesempatan uangnya dipergunakan oleh peminjam dalam jangka waktu satu tahun, hal ini sangat membantu peminjam. Sementara, pemberi pinjaman tidak dirugikan karena barang yang diperoleh dengan uang yang dimiliki pada tahun ketika ia memperpinjamkan uangnya dengan saat dikembalikan uang tersebut masih sama. Akan tetapi, hutang piutang model ini tetap tidak diakadkan dengan barang, hanya saja diandaikan (berhelah) dengan harga barang yang riil dan mengikuti kemungkinan naik dan turun harga. Dalam penelitian ini, peneliti berargumentasi berdasarkan pandangan para ulama modernis dan neo-revivalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar