Kamis, 24 Maret 2011

Jurnal Aspek Hukum dalam Perekonomian

1. Dualisme Sistem Hukum
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum
positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap
keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan
pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang
berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan
perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat
terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem
hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.
Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless
trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri
umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara
berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya
dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak
dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan
perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat
dibatalkan.
Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai
tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja
dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal
terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di
indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak
hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem
hukum Kontinental”. Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan
bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana
pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang
bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.
Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan
bukan sebaliknya.
Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang
sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.
Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh
perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai
multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi
hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.
Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi
ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada
kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak
5 Pistor, Katharina and Philip A. Wellons, The Role Of Law and Legal Institutions in Asian Economic
Development. Oxford University Press, New York-USA, 1999, hlm. 282.
terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya
dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya
pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini,
maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan
kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting
lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara
Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistem
hukum antara 1960 hingga saat ini 8.
2. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Menarik untuk disimak kutipan berikut,
“Good corporate governance of banks is the sine qua non of a sound banking
system. For individual banks it can reduces the cost of capital and enhance
shareholder value. The Asia Banking crisis has, in part, been attributed to
serious inadequacies in the governances of banks. Governance restructuring
will have to accompany bank restructuring. If the latter is to be sustainable.
Good bank governance may not work in isolation. It will need to be
accompanied by good governance in the major constituents of the economic
including the governance of central banks, banking supervisory agencies and
in the corporate sector. The post-crisis period has created an environment
where most of the major actors in Asia are now willing to implement
governance reforms. Not only as a way to ensure survival, but also as a
competitive weapon’’9.
Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan
investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan
keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG
6 Ibid, hlm, 263.
7 Ibid, hlm, 272
8 Ibid, hlm, 273
9 Mathur, Arvind dan Jimmy Burhan, The Corporate Governance Of Banks: CAMEL-IN-A-CAGE, paper
dalam konferensi Internasional tentang ‘Asian Revival; Risk, Change and Opportunity, Asian
Development Bank, Manila-Philippnes,2001 hlm 1. Lihat pula diskusi menarik tentang GCG pada sektor
perbankan
sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah
pemegang saham (increasing shareholder value).
Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out
dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa
sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama
ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan
swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang
baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.
Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari
peranannya sebagai ‘engine of growth’* atau sebagai primadona pembangunan.
Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang
APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih
beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor
informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah
yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar
melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan
oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini
hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan
itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun
SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan
penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain
tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga
agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya
membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan
mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.
* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal
Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.
103-117
Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan
dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000
di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan
Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of
fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate
governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their
economic meltdown in 1997’’10.
Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah
mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,
sustainable economic growth....”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya
dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak
pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,
dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti
strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.
Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah
sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya
menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah
kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main
dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang
mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam
menjalankan usahanya.
Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini
membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,
Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris
dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan
10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank
2000 hlm 1.
11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001
transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan
sosialisasi yang tidak budget neutral.
Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para
pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula
mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah
perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada
tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena
sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset
perusahaan.
Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu
karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG
malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara
pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.
Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan
nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal
Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih
tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini
kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang
sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan
yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif
lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga
kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari
pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan
perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika
bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.
Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh
masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke
paradigma stakeholder oriented.
GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code
of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.
Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya
voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan
oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,
misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat
dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang
mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan
pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).
Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah
ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU
Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.
Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena
adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.
Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,
bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih
menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang
bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic
driven.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap
sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil
balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang
saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman
perilaku manajemen.
12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG
Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang
pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi
dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam
konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di
pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan
efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah
mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading
misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang
dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan
perdagangan.
Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor
bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia
mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat
ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG
pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi
kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan
sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di
dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan
demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga
bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.
Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa
pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya
resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah
perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last
resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti
oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus
dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem
reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu
13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106
bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu
bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.
“the legal framework in a country is as vital for economic development as for
political and social development. Creating wealth through the cumulative
commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on
a set of rules securing property rights, governing civil and commercial
behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also
effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension
of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in
the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the
society, the law can make an important contribution to a just and equitable
society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14
pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang
bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari
pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum
dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik
dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek
domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.
Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan
tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan
kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,
yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek
pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari
pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha
penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus
dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang
akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan
dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai
14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994
sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market
practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal
and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25
15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.
konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat
bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya
sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi
mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe
Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.
Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD
1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan
oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang
melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di
Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang
memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang
pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.
Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,
memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan
yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social
Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar
pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di
masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap
pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.
Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –
lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang
mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam
artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12
17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,
Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme
pembaharuan hukum di Indonesia.
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.
Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala
tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga
hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta
segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus
“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru
mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang
mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai
suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri
bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.
Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’
harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward
looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana
yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.
Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi
pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang
menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan
terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim
devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.
Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan
pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah
kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar
keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua
LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11
19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5
bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan
keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara
(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU
Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam
bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan
intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.
hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau
sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU
Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun
lalu.

PENUTUP
1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif
dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi
kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi
yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang
diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara
Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum
ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem
kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat
prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing
negara.
2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau
komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks
keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi
keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.
3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti
perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke
depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani
masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga
akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional
yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan
ekonomi dan hukum.

oleh : Dr. Jusuf Anwar, SH., MA

Rabu, 02 Maret 2011

HAPUSNYA PERIKATAN

Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :

a. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. Pembaharuan utang;

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

e. Percampuran utang;

f. Pembebasan utang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Batal/pembatalan;

i. Berlakunya suatu syarat batal;

j. Lewat waktu.

WANPRESTASI DAN AKIBATNYA

Wansprestasi dan Akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)

Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.

Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko

Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

AZAS-AZAS PERIKATAN

Asas-asas dalam Hukum Perjanjian

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

· Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

· Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

DASAR HUKUM PERIKATAN

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).

2. Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yaitu

a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata

b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN

Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum. Unsur-unsur perikatan :

1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.

Hak dan kewajiban para pihak

Debitur :

1. Berkewajiban membayar utang (Schlud).
2. Berkewajiban memberikan harta kekayaannya untuk melunasi hutangnya (HAFTUNG).

Unsur-unsur objek perikatan :

1. Objek tersebut tidak diperkenankan.

2. Harus ditentukan, artinya harus ditentukan jenisnya. Contoh : membeli motor merk Honda.

3. Harus dimungkinkan, sesuai dengan akal pikiran. Contoh : pengeluaran lebih besar daripada pendapatan.

Hubungan perikatan buku III dengan buku II adalah adanya lapangan harta kekayaan.

Buku II bersifat memaksa atau mengikat atau tertutup

Buku III bersifat mengatur atau melengkapi atau terbuka.

Ruang lingkup hukum perikatan :

1. Perikatan pada umumnya :
* Pengaturan hukum perikatan.
* Pengertian-pengertian hukum perikatan.
* Subjek perikatan.
* Objek perikatan.
* Sumber perikatan.
* Jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian :
* Pengertian perjanjian.
* Syarat sahnya perjanjian.
* Unsur-unsur perjanjian.
* Jenis perjanjian.
* Akibat hukum suatu perjanjian.
* Hapusnya perjanjian.
3. Perikatan yang bersumber dari undang-undang :
* Perikatan yang lahir dari undang-undang saja.
* Perikatan yang lahir dari undang-undang karena peruatan manusia yang sah.
* Perbuatan melawan hukum :Pengaturan,Pengertian,Unsur-unsur,Akibat hukum.

4. Perjanjian tertentu atau bernama
* Jual beli.
* Sewa menyewa.
* Pemberian kuasa.

Pengaturan hukum perikatan :

1. Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata dari pasal 1233-1456 KUH Perdata.

2. Buku III KUH Perdata bersifat :

· Terbuka, maksudnya perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang.

· Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.

· Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.

Hal diatas kebalikan dari buku II yaitu bersifat tertutup.

Hubungan perikatan dengan daluwarsa adalah pembuktian.

Unsur-unsur dalam perikatan :
* Hubungan hukum

Maksudnya adalah bahwa hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pad apihak lain dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hukum dapat memaksakannya.

* Harta kekayaan

Maksudnya adalah untuk menilai bahwa suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini yang membedakannya dengan hubungan hukum dibidang moral (dalam perkembangannya, ukuran penilaian tersebut didasarkan pada rasa keadilan masyarakat).

* Para pihak

Pihak yang berhak atas prestasi = kreditur, sedangkan yang wajib memenuhi prestasi = debitur.

* Prestasi (pasal 1234 KUH Perdata), prestasi yaitu :

a. Memberikan sesuatu.

b. Berbuat sesuatu.

c. Tidak berbuat sesuatu.

Definisi perikatan

“Hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.

Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban. Mora kreditoris adalah pihak kreditur yang berhak dapat merugikan pihak debitur. Titik tolak hukum :

1. Penghormatan pada manusia.

2. Perlindungan.

3. Penghormatan.

Prestasi berupa :

1. Memberikan sesuatu => prestasi atau memberikan semua hak milik.
2. Berbuat sesuatu => tidak memberikan semua hak milik dan perbuatannya tidak termasuk memberikan sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu => wanprestasi.

Riele executie :

1. Pasal 1241 KUH Perdata.
2. Adalah bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan biaya dari debitur berdasarkan masa yang diberikan hakim, apabila debitur enggan melaksanakan prestasi itu.

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA INDONESIA

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA :

* Buku I tentang Orang(van persoonen); mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
* Buku II tentang Kebendaan(van zaken); mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
* Buku III tentang Perikatan(van verbintennisen); mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian(van bewijs en verjaring); mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :

1. Faktor etnis

2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :

a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.

Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :

1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).

2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).

3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.

4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.

5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

Sejarah Singkat Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

KUHPerdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata
KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht
2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs

HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG ADA DI INDONESIA

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

B. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

 PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

 KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

C. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa

b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.

II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.

III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.

IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

SUBYEK,OBYEK HUKUM, DAN HAK JAMINAN

Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.


2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

Obyek Hukum

Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Benda itu sendiri dibagi menjadi :
a) Benda bergerak
• Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
• Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.

b) Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
• Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
• Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
• Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.

Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)

a. Jaminan umum
Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya.
Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.
Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :
1. Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
2. Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.

b. Jaminan khusus
Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.

Gadai
Dalam pasal 1150 KUH perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang.
Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah di keluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahulukan.
Sifat-sifat Gadai yakni :
• Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
• Gadai bersifat accesoir artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang di maksudkan untuk menjaga jangan sampai debitur itu lalai membayar hutangnya kembali.
• Adanya sifat kebendaan.
• Syarat inbezitz telling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
• Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
• Hak preferensi (hak untuk di dahulukan).
• Hak gadai tidak dapat di bagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan di bayarnya sebagaian dari hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh bendanya.

Obyek gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan baik benda bergerak berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan berbagai hutang yakni berwujud surat-surat piutang kepada pembawa (aan toonder) atas tunjuk (aan order) dan atas nama (op naam) serta hak paten.

Hak pemegang gadai yakni si pemegang gadai mempunyai hak selama gadai berlangsung :
Pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang di gadaikan atas kekuasaan sendiri (eigenmachti geverkoop).

Hasil penjualan diambil sebagian untuk pelunasan hutang debitur dan sisanya di kembalikan kepada debitur penjualan barang tersebut harus di lakukan di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan syarat-syarat yang lazim berlaku.
1. Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa biaya-biaya yang telah dilakukan untuk menyelamatkan benda gadai .
2. Pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai (hak retensi) sampai ada pelunasan hutang dari debitur (jumlah hutang dan bunga).
3. Pemegang gadai mempunyai prefensi (hak untuk di dahulukan) dari kreditur-kreditur yang lain.
4. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim jika debitur menuntut di muka hukumsupaya barang gadai di jual menurut cara yang di tentukan oleh hakim untuk melunasi hutang dan biaya serta bunga.
5. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai.

Hipotik
Hipotik berdasarkan pasal 1162 KUH perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil pengantian dari padanya bagi pelunasan suatu perhutangan (verbintenis).
Sifat-sifat hipotik yakni :
1. Bersifat accesoir yakni seperti halnya dengan gadai.
2. Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite) yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH perdata .
3. Lebih didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata.
4. Obyeknya benda-benda tetap.

Obyek hipotik yakni :
Sebelum dikeluarkan undang-undang No.4 tahun1996 hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak termasuk tanah namun sejak di keluarkan undang-undang No.4 tahun1996 tentang hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya undang-undang HT maka obyek hipotik hanya meliputi hal berikut :

1. Kapal laut dengan bobot 20 m³ ke atas berdasarkan pasal 509 KUH perdata, pasal 314 ayat 4 KUH dagang dan undang-undang N0.12 tahun 1992 tentang pelayaran sementara itu kapal berdasarkan pasal 509 KUH perdata menurut sifatnya adalah benda bergerak karena bisa berpindah atau dipindahkan sedangkan berdasarkan pasal 510 KUH perdata kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat pemandian yang di pasang di perahu atau berdiri terlepas dan benda-benda sejenis itu adalah benda bergerak.

Namun undang-undang No.21 tahun 1992 tentang pelayaran menyatakan kapal merupakan kendaraan air dari jenis apapun kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah air, alat apung dan bangunan air tetap dan terapung, sedangkan dalam pasal 314 KUH dagang mengatur bahwa kapal laut yang bermuatan minimal 20m³ isi kotor dapat di bukukan di dalam suatu register kapal-kapal menurut ketentuan-ketentuan yang akan di tetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.

kapal terbang dan helikopter berdasarkan undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dalam hukum perdata status hukum pesawat udara adalah benda tidak bergerak, dengan demikian setiap pesawat terbang dan helikopter dioperasikan harus mempunyai tanda pendaftaran yang berlaku di Indonesia.